Kata Rasul, saling mencintai dan berkasih sayanglah kepada sesama yang di bumi, maka seluruh yang di langit akan mencintai dan mengasihimu. Cinta sosial, Allah berikan juga kesempatan manusia untuk mengaplikasikannya saat-saat bersama melakukan shalat tarawih berjama’ah, saling menghantarkan makanan berbuka kepada tetangga, juga tak lupa memberi sedekah dan hidangan berbuka kepada pengemis, fakir miskin dan anak yatim-piatu. Bahkan menjelang hari akhir ramadhan, wujud cinta juga terealisasi dengan mengeluarkan sebagian harta kita untuk zakat guna melengkapi proses pembersihan diri menuju kesucian. Infaq, sedekah, dan zakat yang kita keluarkan, adalah bukti cinta kita kepada Allah sekaligus menegaskan bahwa kita tak termasuk orang-orang yang cinta harta dunia dan sadar akan adanya sebagian hak orang lain dari apa-apa yang kita miliki. Adakah yang cintanya sebesar sahabat Abu Bakar Shiddik yang mengeluarkan seluruh hartanya di jalan Allah hingga Rasul-pun bertanya apa yang tersisa untuknya. “Allah dan rasul-Nya, cukuplah bagiku” jawab Abu Bakar. Dan tentu saja, perlulah diri ini belajar dari Ibrahim alaihi salam dan keluarganya tentang hakikat dan bentuk cinta kepada Allah. Hal yang tidak kalah menakjubkan juga ditunjukkan Rasulullah kepada seorang anak yatim yang bersedih di hari raya. Ia menjadikan dirinya ayah, dan Fatimah saudara perempuan anak yatim tersebut seraya membahagiakannya saat hari bahagia, Idul Fitri.
Malam-malam ramadhan, adalah saat terbaik kita bercengkerama dan bermesraan dengan Allah melalui tilawah dan tadarrus qur’an, tahajjud serta munajat kepada-Nya. Hati yang terpaut cinta, seperti enggan menuju pembaringan. Inginnya menghabiskan malam-malam ramadhan dengan tangis penyesalan atas khilaf dan dosa, atas segala alpa, juga lalai. Sadar akan semua nikmat yang Allah berikan tanpa pernah alpa, tanpa pernah pula khilaf, salah dan lalai. Dia senantiasa memberikan pelayanan terbaik kepada hamba-hamba-Nya, namun kita membayarnya dengan cinta yang semu, cinta yang terkadang hanya terucap di lidah tanpa wujud yang nyata. Astaghfirullaah …
Jika hati ini sedemikian rindunya menanti kedatangan bulan penuh rahmat dan maghfirah ini, tentulah, selayaknya orang saling mencinta, akan ada tangis jika kekasihnya pergi. Tetesan air mata yang akan mengalir nanti, takkan terhitung betapa derasnya membayangkan kemungkinan bertemunya kembali kita dengan ramadhan nan penuh cinta ini. Saat hari fitri tiba, pantaslah ada keceriaan bagi mereka yang mendapatkan kemenangan melewati masa-masa ujian selama ramadhan, dengan satu harap menjadikan taqwa sebagai hasil akhir ramadhan. Namun tentu saja, sambil menghitung-hitung betapa menyesalnya kita tak memanfaatkan ramadhan yang telah lalu dengan amal sebaik-baiknya, dengan ibadah yang bernilai, hingga tangis ini akan semakin keras berteriak dalam hati. Satu tanya bergelayut “Akankah kita kan sampai di ramadhan tahun depan?” Maka, hati pun berdo’a penuh harap, “berilah hamba kesempatan”. Wallaahu a’lam bishshowaab.
wew
BalasHapus